Dimulai dari Cerita Nenek
Sejak kecil, saya tumbuh dengan cerita tentang Belanda. Bukan dari buku, tapi dari nenek saya sendiri. Beliau hanya lulusan Sekolah Rakyat, tapi semasa muda punya banyak teman orang Belanda dan fasih berbahasa Belanda. Ia sering bercerita soal kanal-kanal yang tenang, udara sejuk, kincir angin, dan suasana kota yang tertib dan damai. Saya kecil menyerap semua itu. Dalam diam, saya mulai membayangkan bagaimana rasanya bisa berada di sana, suatu hari nanti.
Nama yang Mengandung Harapan
Ibu saya juga punya kekaguman tersendiri pada Belanda, terutama Leiden. Mungkin karena pengaruh dari nenek. Tapi juga karena sosok Sutan Sjahrir, tokoh yang dikenal dengan julukan "The Smiling Diplomat" tentunya cerdas, idealis, dan pernah bersekolah di Leiden. Ibu menamai saya Syahrier, bukan tanpa alasan. Ia berharap saya bisa menapak jejak Sjahrir. Bisa sekolah di Leiden. Bisa belajar jauh dari rumah, lalu suatu hari kembali untuk berkontribusi bagi bangsa. Nama saya adalah harapan. Dan sejak kecil, saya tahu saya ingin mewujudkannya.
Mencoba Mengejar yang Jauh
Maka ketika saya tumbuh besar, saya berusaha sekuat mungkin untuk bisa kuliah di Leiden University. Bukan karena gengsi, tapi karena saya merasa itu cara saya menepati mimpi yang bukan cuma milik saya. Saya ingin tahu bagaimana rasanya belajar di kota yang pernah menjadi tempat tumbuh orang-orang besar. Tapi lebih dari itu, saya ingin bisa belajar jauh dari keluarga. Saya ingin belajar hidup sendiri, jadi mandiri, bertemu orang-orang baru, belajar memahami dunia dari banyak sudut pandang.
Bukan Soal Gelar
Bagi saya, kuliah S2 adalah tentang transformasi diri. Saya ingin menantang zona nyaman. Ingin tahu bagaimana rasanya salah dan gagal dalam bahasa asing. Ingin tahu bagaimana menyelesaikan masalah yang saya sendiri belum tahu jawabannya. Dan semua itu lebih mudah didapat ketika saya memutuskan untuk kuliah jauh dari rumah. Di luar negeri. Di tempat yang tidak mengenal saya, supaya saya bisa benar-benar mengenal diri sendiri.
Menjawab Mimpi, Meski Caranya Berbeda
Saya tidak jadi kuliah di Leiden. Beasiswanya gagal. Tapi saya dapat kesempatan di tempat lain: Hongaria. Di kota yang sebelumnya bahkan tak saya tidadk pernah membayangkannya, Budapest. Tapi di situlah saya akhirnya belajar, tumbuh, dan menulis cerita saya sendiri. Dan suatu hari, saya tetap datang ke Leiden. Bukan sebagai mahasiswa, tapi sebagai seseorang yang sedang menyelesaikan kisah lamanya. Saya berdiri di Sjahrirstraat dan tersenyum.
Mungkin saya tidak lanjut kuliah S2 di sana. Tapi saya pernah mengunjungi Leiden. Dan satu impian saya sejak kecil tercapai.